Menggunakan Topi Konsumen: Innovation vs Invention
Saya ditegur keras di media sosial oleh pengelola sebuah kota setelah posting sebuah foto yang menampilkan foto bersama anak saya yang duduk di sebuah batu - yang menurut pengelola tersebut bukanlah tempat duduk.
Waktu saya membela diri bahwa tidak ada penjelasan bahwa batu itu tidak boleh diduduki, saya malah diomeli, katanya lebih baik tidak membantu promosi kota tersebut daripada 'ngeyel' dan tidak 'menurut aturan' mereka.
Wah! Daripada berdebat di media sosial, lebih baik saya akhiri saja kasusnya. Ini energi negatif yang harus dihindari. Sebagai seorang ethnographer, kasus ini memberikan saya sebuah pelajaran tentang pengelolaan media sosial yang keliru, yang harus diceritakan di kelas-kelas marketing dan komunikasi. Menjadi bahan ilustrasi untuk do's dan dont's pengelolaan layanan masyarakat dan pengelolaan media sosialnya.
Pengelola media sosial sebuah kota seharusnya belajar consumer behaviour dan consumer psychology. Gaya-gaya otoritatif sudah tidak laku untuk pengelolaan media sosial. Yang dibutuhkan saat ini adalah seorang pengelola media sosial yang mengerti bagaimana menjadi Crowd Leader. Mengelola Crowd nya dengan baik. Gaya otoriter harus diganti dengan gaya one-of-us.
Sudah waktunya meninggalkan gaya Brand yang merupakan Center of the World. Kita harus paham bahwa saat ini di era crowd sourcing, Brand harus mengubah dirinya menjadi 'Center of the Crowd'. Pemahaman Needs dari Audience menjadi sangat kritikal.
Crowd yang dikelola dengan baik bisa menghasilkan content yang kontinu, content yang real dan membumi dan sangat kontekstual. Sebagai Crowd Leader, pengelola media sosial justru harus bisa encourage bagaimana agar partisipasi aktif selalu mengalir dan media sosial tidak kering hanya berisikan content dari brand owner saja.
Merasa bahwa anak saya bukan satu-satunya yang duduk di batu, saya kemudian menelusuri semua foto-foto yang diambil sore hari tersebut di area yang sama. Dan, memang terbukti. Lebih dari 5 orang yang duduk di batu di tempat yang berbeda.
Jadi, apakah yang spontan duduk di batu yang patut dipersalahkan atau si pembuat disain eksterior tersebut yang perlu berpikir ulang terhadap disain batunya?
Invention vs Innovation
Pemahaman audience memang bukan sesuatu yang sederhana. Danny, seorang fashion designer, mahasiswa Creative Marketing di kelas saya bertanya selesai kelas. Ia merasa berdiri di sebuah persimpangan.
Saat ia belajar disain di S-1 nya ia dilatih bagaimana menjadi seorang kreatif yang benar-benar mengekspresikan karyanya secara total. Dan, sekarang, mendengarkan kuliah tentang pentingnya consumer insights dan menjadi customer-oriented seolah mengarahkan ia menjadi seorang fashion-designer yang berbeda dan bukan menjadi dirinya sendiri lagi.
Saat ini ia sedang mengerjakan sebuah ide disain yang ia peroleh dari 'blusukan' di sebuah suku terasing dan merasa bahwa disain terbaru nya nanti adalah 'sesuatu' sekali. ia tidak mau didikte oleh 'audience'nya.
Konsep 'didikte' oleh audience itu yang harus diredefinisi. Tidak ada audience yang mendikte produsen. Audience tanggap terhadap disain yang ia sukai dan meninggalkan disain yang ia tidak sukai.
Memang ini sebuah pilihan. Menjadi fashion designer yang disainnya disukai lalu dibeli, atau yang disainnya menjadi sebuah monumen di gallery dan hanya merupakan disain unik tetapi tidak ada yang berminat membelinya.
Selalu sulit untuk meyakinkan orang-orang di dunia seni dan kreatif, karena seolah mereka lalu dibatasi dan tidak diberikan 'ruangan' yang cukup untuk karya-karya mereka.
Itu sebabnya kita perlu mempelajari bedanya sebuah 'invention' dengan 'innovation'. Invention adalah hasil karya seseorang yang murni dari ide dirinya, tanpa mempertimbangkan orang lain. Sedangkan Innovation bermakna sebuah temuan baru yang mempertimbangkan aspek komersialisasi dan kegunaan bagi audiencenya nanti.
Invention muncul di awal abad ke19 dimana masih belum banyak produk yang beredar. Produk apapun yang dihasilkan, akan mendapat sambutan karena belum banyak pilihan.
Innovation berbeda dengan Invention. Pada saat konsumen mempunyai banyak pilihan di jaman hiperkompetitif seperti sekarang ini, sangat riskan bagi seorang kreator yang hanya one-sided memikirkan dari perspektif dirinya sendiri. Ia perlu memasukkan aspek komersialisasi dalam proses kreasinya.
Seorang Fashion disainer boleh saja tetap insist tentang sebuah disain yang menurutnya super cool, tetapi jika orang lain tidak mempunyai apresiasi atau pandangan yang sama, maka disainnya akan berujung menjadi sebuah masterpiece yang dikurung dalam sebuah kotak kaca saja.
Produk fashion yang inovatif tentu saja mempertimbangkan aspek kekinian dan kebaruan disainnya, mempunyai ide yang fresh dan breakthrough, tetapi tetap menggunakan 'consumer' head saat proses penyelesaian karyanya.
Menggabungkan ego dari seorang disainer dan pemahaman audience memang bukan sesuatu yang sederhana, karenanya tidak semua orang bisa menembus batas, membuat karya yang memenuhi kaidah 'cool' tetapi juga diminati dan digunakan.
Bekerja sama dengan seorang ethnographer merupakan cara tercepat untuk memahami apresiasi consumer behaviour. Insights tentang consumer/audience bisa digali secara lebih mendalam dan multidimensi.
Nasehat saya untuk pengelola kota, silakan datang dan lihat sendiri bagaimana batu tersebut didisplay di tempat yang sangat memungkinkan untuk diduduki. Para disainer dan arsitek harus memahami kultur budaya, lalu mengadopsinya, bukan memeranginya.
(Dimuat di Kolom Branding Solution, Koran SINDO, Juni 2015)
No Comment
Informasi Workshop
Silahkan mendaftarkan Workshop ke Driana (0811186060 ) / driana@etnomark.com
Categories
Archives
2018
2017
2016
2015
2014
2013
2012
2011
Book Collection
Dapatkan harga promosi Consumer Insight via Ethnography - Mengungkap yang tidak terungkap oleh Amalia Maulana dengan harga Rp 75,000 (belum termasuk ongkir)